12 Des 2012

Epilog 16 November

Senja yang penuh dilema. Tak sampai hati aku melihatnya. Seorang pujangga santun tutur kata sedang dihadapkan dengan dua pilihan besar. Aku atau perempuan Tionghoa berjilbab yang dengan penuh keikhlasan mengirimkan masakan yang ia buat sendiri sebelum pukul 7 tiap pagi. Ia memang pandai memasak.
"Kamu masih punya Allah, Yang Maha Esa. Berdoalah kepada-Nya. Kamu akan menerima jawaban terbaik. Semoga." ucapku meyakinkannya.
Namun lidahnya kelu. Tak sepatah kata pun mampu ia ucapkan. Kutatap dalam-dalam kedua matanya. Mata teduh penuh peluh. Lalu berusaha ku baca guratan di wajahnya. Dan aku mulai mengerti. 
 "Aku tahu. Sudah lima tahun lamanya aku mengenalmu. Jika harus, aku akan pergi." sambungku sambil beranjak pergi, meninggalkannya berdua dengan gadis Tionghoa itu.
Berjalan perlahan menjauh darinya sambil berharap ia akan mencegahku, meminta untuk kembali. Sudah beberapa langkah, tidak ada panggilan. Terpaksa aku menoleh ke belakang. Kulihat mereka berjalan menjauh seraya bergandengan tangan.

Seperti berada di ruang sesak penuh penghuni, berusaha berebut udara untuk tetap hidup.
Sore itu, 16 November 2009.
Semoga pilihanmu benar.
Itu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar