Mungkin saat ini, kau sedang menikmati malam. Dengan secangkir teh hangat di tungku perapian itu. Bersikap biasa, namun harapan itu masih ada. Barangkali kau sudah menghapus setapak demi setapak jejak kakiku, atau tinta yang pernah ku toreh dulu. Terlalu segan untuk terus menyapaku bukan? Karena sikap apatisku hanya akan membuatmu meluruhkan air mata. Hatimupun sudah terlalu lelah untuk sekedar mengabari senyumku yang semakin layu. Menyesakkan jiwa, meradang, remuk redam, hingga nyanyianmu samar-samar terdengar parau.
Adalah rindu, kenangan yang kita titipkan saban hari dalam hela nafas panjang. Yang membawamu beranjak dari sebuah titik ke titik lainnya, membekukan suasana, berpijak entah dimana. Dan semua hanya masalah waktu. Waktu yang terus mengumandangkan syair indahnya, sampai kita terlena.
Malam ini, aku akan tetap terjaga. Memeluk erat selimut tebal coklat tua sembari menunggu berbagai argumen payahmu yang hanya bisa membuatku ternganga. Aku selalu rindu saat itu. Sungguh. Saat dimana aku hanya bisa duduk manis menatapmu sayu. Saat dimana airmata bahkan tidak lagi bisa mencairkan suasana. Kaku.
Malam ini, aku akan tetap terjaga. Memeluk erat selimut tebal coklat tua sembari menunggu berbagai argumen payahmu yang hanya bisa membuatku ternganga. Aku selalu rindu saat itu. Sungguh. Saat dimana aku hanya bisa duduk manis menatapmu sayu. Saat dimana airmata bahkan tidak lagi bisa mencairkan suasana. Kaku.